Day :
Thurs,23/05/2013
By :
Nana Z Siregar
At :
11.47 WIB
Inspired : Haru
haru ‘BigBang’
Di saat dia membuka mata, tak
didapatinya ada setitikpun cahaya. Di sisi kirinya, di sisi kanannya, bahkan di
sekelilingnya. Tapi tak apa. Ia sudah terbiasa, atau lebih tepatnya berusaha
untuk terbiasa. Setiap detiknya di habiskan dengan menerka-nerka warna apa saja
yang di hadapinya hari ini. Tanpa mengingat kapan terakhir kalinya dia mengenal
warna-warna itu. Karena tanpa dia sadari kini harinya di penuhi dengan warna
hitam yang kelabu. Sekelabu ingatannya akan masa lalunya.
Masa lalu yang menghanyutkannya
menuju hilir keperihan yang kini harus di tanggungnya. Kepedihan yang mungkin
tiada berujung dan bertepi. Karena setiap harinya di habiskan dengan meraba
segala benda di sekelilingnya tanpa mengetahui betapa indah atau berbahayanya
benda itu. dan hal itu akan terus di ulanginya dari hari ke hari.
Flasback On
“Bukankah ini indah?” dia
mengatakannya sambil terus tersenyum. “Ahhh.. indahnya!”ucapnya lagi sembari
merentangkan tangan selebar-lebarnya.
Kau mengikutinya dari belakang
dan tak dapat menyembunyikan senyummu, takjub dengan apa yang dilakukannya. Kau
terus memandanginya tanpa menyadari betapa indahnya alam disekitarmu itu.
Karena menurutmu semua keindahan itu tertutupi oleh satu keindahan yang lebih
mempesona, yaitu dia.
“Lihat dua burung itu. Mereka
serasi sekali. Aku akan melukis yang satu itu.”ungkapnya padamu. Kau hanya tersenyum
melihat betapa antusiasnya dia. “Bolehkah? Bolehkah aku melukisnya?” kau
mengangguk memberi isyarat bahwa dia dapat
melakukan apa saja yang di inginkannya.
Dia masih terus menikmati saat
indah itu. Dia terus berlari kesana kemari. Namun saking jauhnya dia darimu,kau
tak mampu meraihnya. Yang kau tau dia hanya berteriak “aaahhh” yang
mengejutkanmu sampai ke ubun-ubun. Kau berlari sekuat tenaga untuk mengejarnya
yang sudah hilang dari sudut pandanganmu. Kau mencarinya kesana kemari. Hingga
kau menemukannya tersungkur di pinggir jurang bukit itu.
Flashback Off
Hari ini kau berencana untuk menghadiri rapat kantor yang
sangat penting. Kau pun berjalan dengan terburu-buru. Namun dari ujung matamu
kau melihat dia tengah bersama seorang pria pincang. Pria itu terlihat sedang
menuntunnya sembari melangkahkan kaki yang di sanggah dengan tongkat. Kau hanya
mendecih melihat keakraban mereka berdua. “Cih, lucu sekali” kau berujar tak
jelas tanpa memikirkan bahwa hal itu hanya akan menyita waktumu yang sangat
berharga itu.
“Diko, kau baik-baik saja?” kau
kembali menghentikan langkah begitu mendengar di meneriaki pria itu.
“Tak apa-apa Sen, maaf membuatmu
terkejut.” Ucap pria itu yang tersandung dan membuat khawatir dia yang duduk di
kursi roda yang di tuntun pria itu.
Kau pun semakin jenuh melihatnya
dan memilih untuk melanjutkan tujuanmu ke kantor tempat kau akan mengadakan
rapat.
Di ruang rapat kau sering
melamun memikirkan mereka berdua. ‘Bagaimana bisa mereka terlihat begitu
bahagia? Padahal yang satu lumpuh dan yang satunya lagi buta.’ Pertanyaan itu
yang sedari tadi menggelayuti pikiranmu. Kau menarik napas dalam dan terkesiap
begitu seseorang menegurmu.
“Pak Romi, bagaimana pendapat
anda tentang diskusi yang baru saja kita bicarakan?” ucap kolegamu meminta
persetujuan.
“Saya rasa tidak terlalu buruk,
jadi saya memilih untuk menyetujuinya.” Ucapmu di sertai senyum bisnis.
Rapat berlangsung dengan lancar
dan di penuhi dengan lamunan tentangnya. Namun tak sampai disitu, di ruangan
kerjamu pun kau memikirkannya. Memikirkan sudah berapa lama kau bersembunyi
darinya.
Flashback On
Setelah kau
menemukannya, kau pun membawanya menuju rumah sakit terdekat. Karena kau tak
ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya, gadis yang sangat engkau cintai.
Sepanjang perjalanan kau terus meneriaki namanya dan berdoa agar dia cepat
siuman. “Sena,Sen, Sena. Bangun.” Kau terus mengulanginya tanpa mengenal lelah
sampai kau tiba di rumah sakit dan segera menyuruh dokter untuk memeriksanya.
“Ada luka di
kelopak matanya, dan itu menyebabkannya mustahil untuk dapat melihat seperti
sebelumnya.” Ungkap dokter itu begitu selesai memeriksanya.
Kau menitikkan
air mata saat itu dan merasakan bahwa kau tidak lagi berpijak di bumi ini. Kau
merasa bahwa dunia ini tidak adil, kenapa harus membuat orang yang kau sayangi
terluka begitu dalam. Kau menjerit sekuatnya guna menghilangkan segala rasa
sesal serta kesal yang kau rasakan.
Setiap hari kau
terus merawatnya sampai dia mampu menghilangkan rasa kesal dan trauma atas
kejadian itu. Kau terus menjenguknya setiap hari. Terus dan terus sampai kau
tiba di satu titik yang membuatmu harus meninggalkan dia sendiri dalam
kegelapannya untuk menghadapi betapa kejamnya dunia ini.
Flashback Off
Tak terasa malam
sudah menjemputmu. Kau pun pulang guna mengistirahatkan badanmu yang rasanya
akan remuk. Kau merasakan lapar yang sangat tengah menyerangmu, maka kau pun
memilih untuk menepi dan mampir di salah satu caffee di pinggiran jalan itu.
Kau memasukinya
tanpa menyadari kalau ada dua orang yang kau temui tadi pagi tengah bersantai
disitu. Kau segera menghapus rasa terkejutmu dan melangkah mendekati meja di
sebelah mereka yang satu-satunya kosong saat itu.
“Romi!”refleks
dia memanggilmu.
Kau yang
terkejut pada saat itu mendengar dia memanggil namamu segera menoleh,”ya? Apa
anda memangil saya? Apakah kita saling kenal?” ucapmu dengan nada angkuh.
“Apa kau tak
mengingatku?”dia menanyakan hal itu dengan nada kecewa yang tak bisa di
sembunyikan.
“Apakah kau
orang yang harus aku ingat?”kau bertanya lagi dengan nada meremehkan.
“Ah, kurasa
tidak. Mungkin aku salah orang. Maaf.” Ucapnya dengan wajah penuh penyesalan.
“Tak apa. Lain
kali kalau kau merasa tidak yakin mengenal seseorang. Jangan mempermalukan
dirimu seperti ini.” Ungkapmu nyaris tak ada nada sopan. Kau kembali fokus
menghampiri mejamu untuk menikmati hidangan malam ini. Kau merasa ada yang
janggal di hatimu setelah melakukan hal kasar tadi padanya. Betapa kau sangat
menyesalinya, tapi hal itu sudah terjadi dan kau memang harus melakukannya.
Sepenjang
perjalanan pulang dari caffee dia terus membicarakanmu pada pria itu. dia
bersikeras mengaku kalau dia mengenalmu dan kau memang orang yang ingin dia
temui.
“Aku yakin dia
itu Romi. Tidak mungkin aku salah mengenalinya.”ucapnya sedikit bernafsu.
“Bagaimana kau
bisa seyakin itu?” tanya pria itu merasa aneh.
“Aku mengenali
bau parfumnya. Dan ketika dia menjawab panggilanku, aku mengenali suaranya. Dia
memang Romi, orang yang aku cari selama 3 tahun belakangan ini.” Dia
menjelaskan pada pria itu.
Pria itu hanya
tersenyum miris melihat betapa cerah wajahnya saat membicarakanmu. Pria itu
merasa bahwa dia menganggapnya sebagai teman, tak lebih. Dan ternyata tak
sampai disitu percakapan antara dia dan pria itu tentang dirimu. Dia
menghabiskan waktu di perjalanan untuk membahasmu.

Dia merasa
kebosanan sudah memenuhi batinnya, maka dia mengajak pria itu untuk
berjalan-jalan keluar rumah. Saat tiba di taman ia memilih untuk sekedar
merasakan angin yang berhembus perlahan di antara rambutnya yang tergerai. Pria
itu terpaku menatapnya seperti itu. Pria itu merasa betapa cantik gadis yang
ada di sampingnya. Pria itu masih saja menatapnya sampai kau melintas di
hadapan mereka dan dia berusaha mencari tahu apa itu benar kau atau tidak.
“Apakah itu kau Romi?”
tanyanya yang membuat kau terpaku. Kau tak habis pikir bahwa dia tetap
bersikeras mengenalmu.
“Kenapa kau
selalu mengetahui keberadaanku? Apa yang membuatmu yakin kalau aku adalah orang
yang kau kenal?”tanyamu berusaha meyakinkan dirimu sendiri untuk tidak kembali
kepadanya.
“Aku tanda bau
parfummu. Dan lagi tak mungkin kau melupakan aku.”katanya merasa sangat yakin
bahwa itu adalah kau.
“Apa yang
membuatku tidak mungkin untuk melupakanmu?”tanyamu.
Dia tersenyum,
menandakan bahwa dia akan segera menemukanmu. Pria yang selalu ada di
hatinya,dulu,sekarang dan seterusnya. “Aku adalah orang yang sangat kau cintai.
Yang kau rawat dengan cintamu 3 tahun yang lalu.” Ucapnya mengingatkanmu akan
kenangan buruk itu.
“Tidak mungkin
aku mencintai wanita cacat sepertimu.” Ucapmu kasar namun bergetar.
“Ap..apa?
Bagaimana bisa kau berkata seperti itu?”kau bisa melihat betapa bergetarnya dia
dan perlahan menitikkan air mata.
“Harusnya aku
yang bertanya seperti itu. Bagaimana bisa kau mengakuiku sebagai orang yang
mencintaimu, sementara di sampingmu ada pria yang mencintaimu dan selalu
mengantarmu kemana-mana. Lagian bukankah kalian sangat serasi? Sama-sama
cacat.” Kau mengatakannya lagi. Tidak, kali ini bahkan lebih kasar. Apa kau
melupakan bahwa kau masih memiliki hati dan perasaan?
“Apa kau bilang?
Kau terlihat seperti orang berpendidikan, tapi ucapanmu sangat tidak
mencerminkan orang yang berpendidikan.” Ucap pria itu merasa di rendahkan.
Namun kau tidak mendengarkannya. Kau hanya berfokus pada wanita di sampingnya.
Ya dia, Sena. Hanya dia yang memenuhi pandangan dan pikiranmu. Kau terus
memandang berapa banyak airmata yang telah diteteskannya. Kau tau bahwa itu
sangat menyakitkan, karena kau juga merasakannya. Bahkan mungkin lebih sakit
dari yang dia rasakan.
“Apa aku harus
menggunakan kata-kata yang berpendidikan kepada orang seperti kalian?”ucapmu
masih terus memandangi dia tanpa berkedip. Dan airmatamu sudah hampir meluncur,
namun kau tak akan membiarkannya menetes di situ. Maka kau pun bergegas untuk
meninggalkan mereka berdua. Tapi langkahmu di hentikan oleh satu kalimat yang
di ucapkannya yang membuatmu beku dan teriris-iris.
“Tidak, kau
bukan orang itu. Bukan Romiku yang selalu mencintaiku dengan tulus.”ucapnya
masih terus menitikkan airmata. “Ayo Dik, aku mau pulang. Kenapa dunia semakin
hari semakin kejam?”dia pun mencoba menjalankan kursi rodanya ke sembarang
arah. Hingga pria itu menuntunnya menjauhimu. Kau terus menatapnya dengan tatapan
terluka, sampai dia hilang dari pandanganmu yang sudah di penuhi dengan
bendungan airmata.

Kau melangkah
semakin cepat untuk mencapai mobil yang kau parkirkan di tepi taman dimana kau
berjumpa dengannya. Setibanya di dalam mobil kau langsung menyandarkan kepalamu
dan mengingat semua kejadian tadi.
“Tidak,
kau bukan orang itu. Bukan Romiku yang selalu mencintaiku dengan tulus.”
Kalimat itu
terus berkelebat di otakmu dan membuat airmatamu semakin deras. Kau merasakan
perih yang tak dapat kau ucapkan dengan kata-kata. Kau hanya dapat
melukiskannya lewat airmata yang sudah membentuk gari-garis di wajahmu.
“Tidak, aku
Romimu. Selamanya akan jadi Romimu. Tidak akan ada Romi lain yang bisa
menggantikanku di hatimu. AKU ROMIMU, AKU ROMIMU.”kau berteriak sekuatnya untuk
mengeluarkan rasa perih yang teramat dalam.
“Tidak taukah
kau sudah berapa lama ku simpan luka ini? Aku berharap tidak melihatmu lagi.
Tapi kenapa kau selalu muncul di hadapanku? Dan memaksaku untuk berbuat kasar
kepadamu.”kau semakin garang berteriak seolah kau sudah tidak waras. Sampai
tiba-tiba kau merasakan sakit yang tak terkira di kepalamu. Kau terus memegangi
kepalamu sambil berteriak kesakitan. Kini yang terlintas di ingatanmu hanyalah
wajahnya. Hingga kau merasa bahwa seluruh dunia terasa gelap. Namun rasa sakit
itu tak kunjung hilang.
Dia
terus menangisi kejadian hari ini. Bahkan dia sudah sampai dirumah dari satu
jam yang lalu. Dia yang menyakini bahwa itu memang kau tidak mengira bahwa kau
telah menjadi begitu kasar. Dia terus mengingat kata-katamu sampai terdengar
bunyi “Prraang” dari gelas yang di lempar.
“Tidak bisakah
kau berhenti menangisinya?”tanya pria itu padamu. “Bahkan yang kurasakan lebih
sakit darimu. Aku mencintaimu. Apa kau tidak menyadarinya?” pria itu berteriak
kepadanya yang membuatnya ketakutan setengah mati. “Apa kau tidak mengingat
kata-katanya? Kita ini cacat. Bahkan dia tau kalau kita ini pasangan serasi
tapi kenapa kau seolah tak mau tau? Apa kau merasa hina kalau bersamaku? Bahkan
kau tak lebih sempurna dariku. Dia sudah menghinamu, harusnya kau tau itu.
Lupakan dia dan datanglah padaku.”pria itu meneriakinya dengan sepenuh emosi
yang dia miliki.
Dia tak habis
pikir bahwa pria itu akan berbuat hal semacam ini. Dia makin menangis merasa
kecewa,kalut,sedih. Apa yang harus dia perbuat disaat dia lemah dan tak tau
bagaimana cara untuk membela diri.
“Aku
mencintaimu. Sangat sangat mencintaimu. Bahkan aku rela meninggalkan hidupku
untukmu.”pria itu menangis sambil berlutut di hadapannya. Dia merasa menyesal
telah menyiksa batin pria itu. Namun luka yang kau toreh masih tinggal di sudut
hatinya yang lain.
Kau membuka mata
begitu menyadari bahwa kau telah kembali. Kembali ke ruangan putih yang
akhir-akhir ini setia menemanimu. Ya kamar dari salah satu rumah sakit umum
yang sudah sangat sering kau singgahi. Kau melihat sekeliling sampai
pandanganmu terhenti pada satu orang yang sudah lama tak pernah kau lihat.
“Rika?”ucapmu
lemah namun tak bisa menyembunyikan nada terkejutmu.
“Hai Rom, sudah
lama tidak berjumpa.”ucap Rika tersenyum padamu. “Kenapa kau tidak pernah
bilang bahwa kau menderita penyakit separah ini?” Rika penasaran.
“Aku tak ingin
orang lain tau kalau aku menderita kanker otak. Aku mohon jangan beritahu
kepada siapapun tentang hal ini, terutama Sena.”terangmu khawatir kalau dia
sampai mengetahuinya.
“Jadi ini alasanmu
menjauhinya dulu?”Rika menerka apa yang ada di pikiranmu. “Tidak seharusnya kau
begitu. Dia sudah hampir frustasi mencarimu dan bertanya-tanya kenapa kau
meninggalkannya.”terang Rika saat itu.
“Bukankah dia
sudah menemukan penggantiku? Orang yang selalu ada di sampingnya itu.”
“Kau
mengetahuinya? Itu Diko, temannya dari Paris. Dia mengalami kecelakaan disini
ketika sedang mengambil cuti kuliah. Dan dia memilih untuk menetap, setelah
mengetahui bahwa dia tidak normal lagi.”Rika membeberkan segala yang di
ketahuinya. “Tapi dari mana kau tau?”Rika bertanya.
“Sudah beberapa
hari ini aku bertemu dengannya. Dan aku menyakiti perasaanya.”
“Kenapa kau
melakukannya? Jangan bilang ini karena penyakitmu.” Tebak Rika benar.
“Aku tidak ingin
menyakitinya.” Kau memberi alasan.
“Justru kau
makin menyakitinya dengan cara seperti ini. Biarkan dia tau dan
merawatmu.”saran Rika.
“Tidak, sudah
cukup semuanya. Bulan depan aku akan operasi, aku ingin berjumpa dengannya.
Untuk pertama dan terakhir kalinya.”
“Terakhir?
Bukankah setelah kau berhasil operasi kau akan kembali padanya?”
Kau menggeleng.
“ Aku akan keluar negeri untuk urusan bisnis. Aku harap kau bisa membantuku
untuk meyakinkannya.” Matamu menyiratkan permohonan.
“Tidak, aku
tidak mau menyakitinya. Labih baik kau minta tolong orang lain saja. Aku ini
sahabatnya, dan aku tidak ingin menyakitinya.” Rika beralasan.
“Tapi kau juga
sahabatku. Dan aku lebih lama mengenalmu.”kata-katamu membuat Rika berpikir yang
berakhir pada persetujuan yang sebenarnya tak di inginkannya.

3 minggu
semenjak percakapan itu. Kau dan Rika mendatangi rumahnya, Sena. Kau berniat
untuk berpamit padanya ketika yang membuka pintu adalah pria itu. Kau,Rika dan
pria itu sama-sama terkejut.
“Untuk apa kau
ke sini? Mau menghinanya lagi?” ucap pria itu menusuk.
“Tidak, aku yang
mengajaknya dan ingin memberitahukan satu hal padanya.”ucap Rika membelamu.
“Siapa?” tanya
dia dari dalam yang membuat jantungmu berdebar. Kau dan dia bertukar pandang
ketika kau merasa ada yang lain darinya sejak terakhir kalian bertemu. “Oh,
masuk.” Ucapnya.
Rika dan kau
merasa takjub. Kini matanya terlihat lebih bersinar. Dia sudah tidak buta lagi
dan menurutmu dia tambah cantik sama seperti dulu ketika kau bersamanya. Kau
merasakan bahwa akan semakin berat untuk melepasnya. Namun kau membulatkan
tekad dan memilih untuk menyampaikan maksud kedatanganmu.
“Kapan kau
operasi pencangkokan mata?”tanya Rika to
the point padanya saat kalian sudah sampai di ruang tamu.
“Aku masuk
dulu.”ucap pria itu memotong percakapan kalian dan merasa enggan untuk menatap
wajahmu.
“Keluarlah pada
saat makan siang.”ucapnya pada pria itu yang di jawab dengan tutupan pintu yang
agak kasar.”Dia akhir-akhir ini agak berubah.”ucapnya pada kau dan Rika.
Kau hanya
menunduk, tidak sanggup membalas tatapannya. Dia menyadarinya dan mengetahui
kalau orang yang mengatakan kata-kata kasar padanya adalah sisi lain dirimu.
“Aku tanya kapan
kau operasi pencangkokan mata?”tanya Rika kembali.
“Oh, 3 minggu
yang lalu. Setelah seseorang meneriakiku cacat. Aku merasa harus melakukannya.”ucapnya
sambil melirikmu. Namun kau hanya berusaha menatapnya dengan wajah tak berdosa.
“Wah, kenapa
tidak dari dulu kau lakukan itu?”Rika semakin ingin tau.
“Aku merasa
kalau aku tidak melakukannya dulu, aku akan merasa beruntung karena akan ada
orang akan selalu merawatku. Tapi ternyata aku salah dan menyesalinya kenapa
tidak dari dulu aku melakukannya.”ucapnya lagi terus menyindirmu.
“Begitu,
sebenarnya aku dan Romi kemari ingin menyam...”belum selesai Rika berbicara kau
sudah menyentuh tangannya dan memberi isyarat bahwa kau tidak ingin Rika
mengatakannya sekarang.
“Ingin
menyampaikan sesuatu?”katanya penasaran.
“Ya, Rika ingin
menyampaikan kalau sebenarnya aku ingin mengajakmu keluar. Aku terlalu takut
untuk mengatakannya sendiri. Apakah kau mau?”tanyamu untuk pertama kalinya.
Rika menatapmu
heran, namun langsung memahami kalau kau ingin memberikan perpisahan terindah
padanya.
“Ah, ya sudah.
Karena Romi sudah mengatakannya, maka aku akan pulang duluan. Mungkin lain kali
kita membicarakannya.”pamit Rika.
“Membicarakan
apa?” tanyanya lagi.
“Bukan apa-apa.
Ayo.” Ajakmu yang di setujuinya.
Kau dan dia hari
ini berjalan-jalan menyinggahi semua tempat yang pernah kau dan dia ukir dengan
berbagai kenangan indah. Kau merasakan kebahagiaan yang tak terkira. Bahkan
hanya untuk beberapa jam saja bersamanya. Hingga kau dan dia merasakan lapar
yang tidak bisa di tahan lagi. Dan kau memilih tempat dimana pertama kali
kalian kencan untuk makan malam. Sekaligus mengakhiri kencan ini.
“Jadi kau memang
tidak ingin mengenal orang cacat?”ucapnya sinis.
“Maksudmu?” kau
tidak mengerti apa yang di bicarakannya.
“Ketika aku buta
kau tak ingin mengenaliku. Tapi ketika aku sudah bisa melihat, kau malah
mengajakku kencan dan mengingat semuanya.”ucapnya tampak bahagia.
“Sudahlah jangan
di bahas. Lebih baik kita makan saja. Aku sudah lapar.” Ucapmu sambil terus
mengunyah.
Makanan yang
dihidangkan sudah hampir habis. Dan kau merasa ini waktu yang tepat untuk
mengatakannya. Maka kau pun memulainya.
“Minggu depan
aku dan Rika akan berangkat ke Kanada. Dan kami akan menikah disana.”ucapmu
membuatnya terkejut dan menghentikan makannya.
“Apa? Kau dan
Rika? Menikah?”tanyanya yang diiringi dengan raut wajah yang terkejut bercampur
terluka,serta mata yang berkaca-kaca.
Sebenarnya kau
tidak tega untuk mengatakan ini. Tapi kau harus. “Ya, dan tujuanku kerumahmu
dengan Rika tadi sebenarnya ingin menyampaikan ini. Memang Kanada itu jauh,
tapi kalau kau sempat datanglah.”ucapmu berbasa-basi.
Dia diam
mencerna kata-katamu sampai dia sudah merasa tidak tahan dan berkata “Jadi apa
maksudmu mengajakku berkencan dan mengingatkan semua kenangan kita dulu?”tanyanya
berang.
“Aku tidak
mengajakmu kencan, kau yang menganggapnya seperti itu.”
“Kau memang
sudah berubah. Dasar monster tak berotak, aku tidak akan pernah memaafkanmu.
Walau kau mati sekalipun.”ucapnya di penuhi dengan emosi dan segera
meninggalkanmu sendirian dengan sejuta sesal yang memenuhi hatimu.

Terakhir kali
semenjak kau membuatnya marah waktu itu. Dia tak pernah lagi muncul
dihadapanmu. Memang itu yang kau harapkan, tapi tetap saja hatimu tidak dapat
berbohong bahwa kau menginginkannya hadir disini. Dimana kau akan melakukan
operasi untuk penyakitmu itu.
Rika yang sedari
tadi menemanimu di situ merasakan bahwa kau ingin dia ada di sini. Namun Rika
tak bisa berbuat apa-apa karena kau meminta Rika untuk tak mengatakan padanya.
Sampai kau masuk ke ruang operasi dan Rika pun tidak tahan untuk segera menelepon
dia untuk datang kesana.
Sesampainya dia
di sana Rika menceritakan semuanya. Bagaimana kau bisa berubah dan apa tujuanmu
mengajaknya kencan semalam. Dia sangat terkejut dan menangis begitu
mendengarkan semua penjelasan Rika padanya. Dia tak habis pikir bahwa kau akan mengalami
dan melakukan hal sejauh ini.
Hingga pada saat
dokter keluar dari ruangan operasi dan membawamu dengan selimut yang menutupi
wajahmu. Dia terkejut sampai napasnya tercekat di tenggorokkan. Dia terpaku
melihatmu yang sudah terbujur kaku di atas tempat tidur itu.
Ketika dia
menyadari yang terjadi, dia menangis sejadi-jadinya. Terlintas di kepalanya
semua kenangan indah yang pernah dia lewati bersamamu. Dia menyesali kata-kata
yang keluar dari mulutnya untuk terakhir kali padamu.
“Kau memang sudah berubah. Dasar monster tak
berotak, aku tidak akan pernah memaafkanmu. Walau kau mati sekalipun.”
Ucapnya waktu itu.
Dia terus
menangisi segala kebodohannya yang tidak menyadari dan mengetahui semua yang
telah kau alami.
“Maafkan aku.
Aku tidak bermaksud berbicara begitu waktu itu. Maafkan aku, jangan tinggalkan
aku seperti ini.”ucapnya sambil terus mengisak dan berteriak.
Seluruh orang yang ada di rumah sakit
itu terdiam seolah merasakan perih yang di rasakannya. Rika memeluknya dan
berbisik padanya, “sebenarnya aku dan dia tidak akan menikah. Itu hanya alasan
dia untuk membuatmu benci kepadanya.” Setelah mendengar pernyataan Rika,rasanya
seperti tercabik-cabik. Dia semakin menangis serta menjerit membelah kesunyian
malam.
“Aku tidak akan membencimu. Kau Romiku.
Selamanya akan jadi Romiku. Tidak akan ada Romi lain yang bisa menggantikanmu
di hatiku. KAU ROMIKU, KAU ROMIKU.” Teriaknya
lagi. Bahkan lebih keras dari sebelumnya.
“Aku Romimu. Selamanya akan jadi Romimu.
Tidak akan ada Romi lain yang bisa menggantikanku di hatimu. AKU ROMIMU, AKU
ROMIMU.”
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar